Beranda | Artikel
Kupas Tuntas Hukum Gambar Makhluk Bernyawa (Bag.1)
Sabtu, 21 Maret 2020

Islam agama yang sempurna, yang membawa kemaslahatan bagi seluruh manusia dan mencegah segala keburukan bagi mereka. Tidak ada perintah dalam Islam, kecuali itu pasti manfaat bagi manusia. Dan tidak ada larangan dalam Islam, kecuali itu akan merugikan jika dilakukan manusia. Oleh karena itu, syariat Islam juga membimbing manusia untuk mengambil semua sarana kepada kebaikan dan menutup semua sarana kepada keburukan.

Diantara sarana kepada keburukan adalah menggambar makhluk bernyawa. Oleh karena itulah Islam melarang menggambar makhluk bernyawa apapun alasannya. Karena gambar makhluk bernyawa merupakan sarana kepada banyak sekali keburukan. Mari kita simak penjelasannya lebih lanjut.

Definisi ash shurah

Yang dilarang dalam Islam untuk digambar adalah ash shurah, yaitu gambar makhluk yang bernyawa. Adapun gambar makhluk yang tidak bernyawa, tidak terlarang untuk digambar. Diantara dalilnya adalah hadits berikut:

وعَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الحَسَنِ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ  – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبَّاسٍ، إِنِّي إِنْسَانٌ إِنَّمَا مَعِيشَتِي مِنْ صَنْعَةِ يَدِي، وَإِنِّي أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لاَ أُحَدِّثُكَ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: «مَنْ صَوَّرَ صُورَةً، فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا» فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيدَةً، وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ، فَقَالَ: وَيْحَكَ، إِنْ أَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تَصْنَعَ، فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ، كُلِّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ

Dari Sa’id bin Abi Al Hasan berkata, Aku pernah bersama Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika datang seorang kepadanya seraya berkata; “Wahai Abu ‘Abbas, pekerjaanku adalah dengan keahlian tanganku yaitu membuat lukisan seperti ini”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang aku akan sampaikan kepadamu adalah apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu beliau bersabda: “Siapa saja yang membuat gambar ash shurah, Allah akan menyiksanya hingga dia meniupkan ruh (nyawa) kepada gambarnya itu dan sekali-kali dian tidak akan bisa melakukannya selamanya”. Maka orang tersebut sangat ketakutan dengan wajah yang pucat pasi. Ibnu Abbas lalu berkata: “Celaka engkau, jika engkau tidak bisa meninggalkannya, maka gambarlah olehmu pepohonan dan setiap sesuatu yang tidak memiliki ruh (nyawa)” (HR. Bukhari no.2225).

Dalam hadits ini dijelaskan oleh Ibnu Abbas bahwa ash shurah yang dilarang untuk digambar adalah gambar makhluk yang bernyawa. Adapun gambar makhluk yang tidak bernyawa seperti pohon, maka tidak terlarang untuk digambar.

Dan dalam hadits yang lain, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قال اللهُ عزَّ وجلَّ : ومن أظلم ممن ذهبَ يخلقُ كخَلْقي ، فلْيَخْلُقوا ذرَّةً ، أو : لِيخْلُقوا حبَّةً ، أو شعيرةً

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku?’. Maka buatlah gambar biji, atau bibit tanaman atau gandum” (HR. Bukhari no.5953 dan Muslim no.2111).

Di dalam hadits ini juga terdapat bimbingan bagi orang yang ingin menggambar, hendaknya menggambar makhluk yang tidak bernyawa seperti biji, atau bibit tanaman atau gandum.

Baca Juga: Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa

Perlu Dibedakan Antara Dua Hal!

Pembahasan terkait ash shurah (gambar makhluk bernyawa) perlu dibagi dan dibedakan antara dua bab:

  1. Bab tashwir (membuat ash shurah)
  2. Bab iqtina’ ash shurah (memanfaatkan ash shurah)

Karena dua bab di atas memiliki hukum yang berbeda dan rincian yang berbeda. Menyamakan dua hal di atas adalah suatu kekeliruan.

Hukum tashwir (membuat ash shurah)

Tashwir artinya membuat gambar makhluk bernyawa, baik dengan tangan langsung maupun dengan bantuan alat. Banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tashwir hukumnya haram dan merupakan dosa besar. Pelakunya diancam dengan adzab yang berat di akhirat.

Dan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ أشدَّ النَّاسِ عذابًا عندَ اللَّهِ يومَ القيامةِ المصوِّرونَ

orang yang paling keras adzabnya di hari kiamat, di sisi Allah, adalah tukang gambar” (HR. Bukhari no. 5950, Muslim no.2109).

Dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ الَّذينَ يصنَعونَ هذِه الصُّوَرَ يعذَّبونَ يومَ القيامةِ ، يقالُ لَهم : أحيوا ما خلقتُمْ

orang yang menggambar gambar-gambar ini (gambar makhluk bernyawa), akan diadzab di hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’” (HR. Bukhari no.5951, Muslim no.2108).

Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قال اللهُ عزَّ وجلَّ : ومن أظلم ممن ذهبَ يخلقُ كخَلْقي ، فلْيَخْلُقوا ذرَّةً ، أو : لِيخْلُقوا حبَّةً ، أو شعيرةً

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku?’. Maka buatlah gambar biji, atau bibit tanaman atau gandum” (HR. Bukhari no.7559, Muslim no.2111).

Dari Aisyah radhiallahu’anha:

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»].

“Bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan ada gereja yang mereka lihat di Habasyah, di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa). Mereka berdua menceritakan hal tersebut pada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalllam. Beliau lalu bersabda: “Gambar-gambar tersebut adalah gambar orang-orang yang dahulunya merupakan orang shalih lalu meninggal. Kemudian dibangunkan tempat ibadah di atas kuburan mereka, dan digambarlah gambar-gambar tersebut. Orang-orang yang menggambar itu adalah orang-orang yang paling bejat di sisi Allah di hari kiamat”” (HR. Bukhari no.3873, Muslim no. 528).

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وفي الحديث دليل على تحريم التصوير

“Dalam hadits ini terdapat dalil tentang terlarangnya tashwir (menggambar makhluk bernyawa)” (Fathul Baari, 1/525).

Al imam An Nawawi menjelaskan:

قال أصحابنا وغيرهم من العلماء: تصوير صورة الحيوان حرام شديد التحريم، وهو من الكبائر لأنه متوعد عليه بهذا الوعيد الشديد المذكور في الأحاديث وسواء صنعه بما يمتهن أو بغيره فصنعته حرام بكل حال لأن فيه مضاهاة لخلق الله تعالى، وسواء ما كان في ثوب أو بساط أو درهم أو دينار أو فلس أو إناء أو حائط أو غيرها وأما تصوير صورة الشجر ورحال الإبل وغير ذلك مما ليس فيه صورة حيوان فليس بحرام

“Ulama madzhab kami (Syafi’iyyah) dan para ulama lain mengatakan: menggambar hewan hukumnya haram dengan keharaman yang sangat berat. Ia merupakan dosa besar, karena termasuk dosa yang diancam dengan ancaman yang berat, yang disebutkan dalam hadits-hadits.

Baik gambar tersebut adalah gambar yang dihinakan ataukah bukan. Maka membuat gambar tersebut hukumnya haram apapun alasannya. Karena dalam membuat gambar, terdapat unsur menandingi ciptaan Allah ta’ala.

Baik membuat gambar tersebut di baju, di karpet, di uang dirham atau uang dinar, di uang kertas, di bejana, di tembok, atau di tempat lain.

Adapun membuat gambar pohon atau pelana unta, atau benda lain yang bukan gambar hewan maka tidak haram” (Syarah Shahih Muslim, 14/82).

Maka kita dapati suatu faedah dari penjelasan An Nawawi ini, bahwa terkadang gambar makhluk bernyawa itu boleh digunakan, namun yang menggambarnya tetap berdosa. Ini juga menunjukkan bahwa dosa menggambar gambar makhluk bernyawa itu lebih fatal dan berat daripada menggunakan gambar makhluk bernyawa. Karena mereka diancam dengan ancaman yang berat, diantaranya:

  1. Disebut sebagai orang yang paling zhalim
  2. Akan diadzab terus-menerus sampai mereka bisa meniupkan ruh pada gambar yang mereka buat, dan mereka tidak akan bisa melakukannya
  3. Disebut akan mendapatkan adzab yang paling keras di hari kiamat

Baca Juga: Hukum Mengikuti Kuis Gratis dengan Syarat Mempromosikan Produk (Giveaway)

Menggambar shurah adalah Sarana Kesyirikan

Allah ta’ala berfirman tentang kesyirikan di zaman Nabi Nuh:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

 “Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh: 23).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menafsirkan ayat ini:

أسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِن قَوْمِ نُوحٍ، فَلَمَّا هَلَكُوا أوْحَى الشَّيْطَانُ إلى قَوْمِهِمْ، أنِ انْصِبُوا إلى مَجَالِسِهِمُ الَّتي كَانُوا يَجْلِسُونَ أنْصَابًا وسَمُّوهَا بأَسْمَائِهِمْ، فَفَعَلُوا، فَلَمْ تُعْبَدْ، حتَّى إذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وتَنَسَّخَ العِلْمُ عُبِدَتْ

 “Ini adalah nama-nama orang shalih di zaman Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kaumnya untuk membangun tugu di tempat mereka biasa bermajelis, lalu diberi nama dengan nama-nama mereka. Dan itu dilakukan. Ketika itu tidak disembah. Namun ketika generasi tersebut wafat, lalu ilmu hilang, maka lalu disembah” (HR. Bukhari no.4920).

Perhatikan, kaum Nabi Nuh ketika orang shalih meninggal, mereka membuat patung orang-orang shalih tersebut. Ini adalah tashwir (menggambar) berupa gambar 3 dimensi. Awalnya mereka tidak bermaksud untuk menyembahnya, namun waktu berjalan dan orang-orang yang membuat patung telah wafat kemudian ilmu yang benar hilang di tengah masyarakat, lama-kelamaan patung-patung tersebut pun disembah.

Baca Juga: Hukum Menghadiri Jamuan yang Disediakan Khamr

Alasan Dilarangnya Tashwir

Dari paparan di atas, kita ketahui bahwa ‘illah (alasan) dilarangnya tashwir diantaranya 3 alasan:

  1. Karena menandingi ciptaan Allah, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah.
  2. Menyerupai perbuatan kaum Ahlul Kitab, sebagaimana dalam hadits Aisyah.
  3. Merupakan sarana menuju kesyirikan, sebagaimana penjelasan Ibnu Mas’ud.

Syubhat dalam Larangan Tashwir

Syubhat: larangan tashwir adalah jika gambar yang dibuat dimaksudkan untuk disembah

Sebagian orang memiliki syubhat, bahwa larangan tashwir adalah jika gambar yang dibuat dimaksudkan untuk disembah. Adapun jika tidak bermaksud untuk menyembah gambar tersebut maka tidak mengapa.

Maka kita jawab syubhat ini dengan beberapa poin:

Pertama, hadits-hadits larangan tashwir sifatnya muthlaq tidak menyebutkan keterangan bahwa larangannya berlaku jika gambarnya akan disembah.

Kedua, alasan terlarangnya tashwir telah kita sebutkan minimalnya ada 3 alasan. Alasan nomor 3 adalah shurah merupakan sarana menuju kesyirikan. Andaikan shurah yang dibuat tidak bermaksud untuk disembah maka memang alasan nomor 3 gugur. Namun bukankah ada 2 alasan lainnya yang tetap menjadikan tashwir hukumnya terlarang?

Ketiga, kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika awal mula mereka membuat patung dari orang shalih yang sudah meninggal, mereka tidak bermaksud untuk menyembahnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu. Namun ternyata berujung kepada penyembahan dan kesyirikan. Sehingga tashwir tetap terlarang meskipun tidak bermaksud untuk menyembahnya, dalam rangka sadd adz dzari’ah (menutup celah menuju keburukan).

Baca Juga: Hukum Mengeraskan Suara ketika Membaca Al-Qur’an 

Bagaimana dengan Hukum Fotografi?

Di zaman modern, gambar banyak dihasilkan melalui kamera foto. Para ulama kontemporer pun membahas hukum penggunaan kamera foto. Secara garis besar, pembahasan para ulama dibagi menjadi dua pembahasan:

  1. Apakah membuat gambar dengan kamera foto termasuk tashwir?

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam dua pendapat:

Pendapat pertama, membuat gambar dengan kamera termasuk tashwir dan hukumnya haram. Mereka berdalil dengan keumuman dalil-dalil yang melarang tashwir dan memandang bahwa memfoto dengan kamera itu termasuk membuat shurah walaupun dengan bantuan alat.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya masalah membuat gambar dengan fotografi, beliau menjawab:

التصوير لا يجوز، لا باليد ولا بغير اليد، التصوير كله منكر، والرسول عليه الصلاة والسلام لعن المصورين

“Tashwir tidak diperbolehkan, baik dengan tangan atau dengan (alat) selain tangan. Tashwir semuanya adalah kemungkaran. Dan Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat tukang gambar” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 28/227).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak juga menjelaskan:

والجواب عن الأول -وهو أن التصوير بالكاميرا ليس تصويراً لأن ذلك ليس من فعل المكلف- أن يقال: هذا غير مُسَلَّـم، فإنه تصوير لغةً وعرفاً، فإنه يقال للآلة: آلة التصوير، ولمُشغِّلها: المُصور، ولفعله: التصوير، وللحاصل بها: صورة، وهذا التصوير من فعل المكلف ولكن بالوسيلة، وهو من فعل المكلَّف، ولكن بالوسيلة الحديثة ((الكاميرا ))، ومما يدل على أنه من فعل المكلَّف أن له أحكاماً، فقد يكون مباحاً وقد يكون حراماً كما تقدم

“Jawaban untuk alasan pertama, yaitu bahwa memfoto dengan kamera bukanlah tashwir karena itu bukan perbuatan mukallaf, maka kita jawab bahwa ini kurang tepat. Karena ini tetap disebut tashwir secara bahasa (lughatan) maupun secara adat (‘urfan). Karena dalam bahasa Arab, kamera disebut: aalatut tashwir. Penggunanya disebut al mushawwir. Perbuatannya disebut at tashwir. Hasilnya disebut ash shurah. Dan perbuatan ini termasuk perbuatan mukallaf namun dengan perantara alat. Sehingga tetap disebut perbuatan mukallaf, namun dengan menggunakan perantara alat modern bernama kamera. Diantara yang menunjukkan bahwa ini adalah perbuatan mukallaf adalah karena dia memiliki hukum syar’i, terkadang hukumnya mubah dan terkadang hukumnya haram sebagaimana telah dijelaskan” (Sumber: https://dorar.net/article/80).

Ini juga yang menjadi pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’, Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili.

Pendapat kedua, membuat gambar dengan kamera tidak termasuk tashwir, hukum asalnya mubah. Mereka berargumen bahwa mengambil gambar dengan kamera bukanlah menggambar, karena gambar yang terjadi bukan hasil buatan orang yang memfoto. Gambar tersebut adalah tangkapan bayangan yang tersimpan. Dan juga, mengambil gambar dengan kamera sama sekali tidak ada unsur menandingi ciptaan Allah, karena gambar yang dihasilkan sama sebagaimana adanya, sebagaimana Allah ciptakan.

Syaikh Dr. Khalid Al Mushlih hafizhahullah menjelaskan:

والذي يظهر لي أن التصوير الفوتوغرافي لا يدخل فيما جاءت النصوص بتحريمه من التصوير؛ لأنه لا مُضاهاةَ فيه لخَلق الله، إنما غايته أنه صورة خلق الله تعالى ليس للإنسان فيها عمل من تسوية أو تشكيل، فهي نظير المرآة والصورة في الماء

“Pendapat yang kuat dalam pandanganku, bahwa mengambil gambar dengan kamera foto tidaklah termasuk dalam larangan yang ada dalam nash-nash yang mengharamkan tashwir. Karena tidak ada unsur menandingi ciptaan Allah. Karena tujuan dari memfoto adalah mengambil gambar ciptaan Allah ta’ala, tidak ada unsur pengeditan dari manusia. Maka ini sama seperti gambar yang ada di cermin atau yang di air (ketika melihatnya)” (Sumber: http://www.almosleh.com/ar/16458).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

حول حكم التصوير “الفوتوغرافي” وذكرت في هذه المقابلة أني لا أرى أن التصوير “الفوتوغرافي” الفوري، الذي تخرج فيه الصورة فوراً دون تحميض داخل في التصوير الذي نهى عنه الرسول صلى الله عليه وسلم، ولعن فاعله

“… seputar hukum membuat gambar fotografi, telah aku sebutkan tentang masalah ini bahwa membuat gambar instan dengan fotografi, yang gambarnya langsung jadi dan keluar (polaroid) tanpa ada pengeditan, saya memandang ini tidak termasuk tashwir yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang dilaknat pelakunya”.

إذا كان الغرض شيئاً مباحاً صار هذا العمل مباحاً بإباحة الغرض المقصود منه، وإذا كان الغرض غير مباح صار هذا العمل حراماً لا لأنه من التصوير، ولكن لأنه قصد به شيء حرام

“Jika tujuan dari fotografi ini mubah, maka perbuatan fotografinya mubah, disebabkan karena mubahnya tujuannya. Namun jika tujuannya haram, maka perbuatan fotografinya pun menjadi haram. Namun haramnya bukan karena ia termasuk tashwir. Melainkan karena ada unsur keharaman di dalamnya” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 2/271).

Namun ulama yang membolehkan foto kamera mereka memberikan syarat-syarat diantaranya:

  1. Tidak ada pengeditan pada gambar makhluk yang dihasilkan dari kamera foto, sehingga termasuk menandingi ciptaan Allah. Seperti: mengubah warna kulit, mengubah tinggi badan, mengubah bentuk badan, dan semisalnya.
  2. Tidak ada unsur keharaman atau sarana kepada yang haram, seperti memfoto wanita yang bukan mahram, memfoto aurat yang seharusnya disembunyikan, atau memfoto dengan tujuan untuk dipajang, dan semisalnya.

Ini juga yang menjadi pendapat Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Shalih Al Luhaidan, Syaikh Abdullah As Sulmi, Syaikh Khalid Al Mushlih, Syaikh Sa’ad Al Khatslan.

Wallahu a’lam, pendapat yang kedua lebih mendekati kebenaran. Karena alasan yang dikemukakan lebih sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam nash. Bahwa yang tashwir yang dilarang adalah yang mengandung unsur menandingi ciptaan Allah, dan mengambil gambar dengan foto sama sekali tidak ada unsur tersebut. Mengambil gambar dengan foto juga hakekatnya adalah menyimpan bayangan benda, bukan menggambar.

  1. Apakah gambar hasil kamera foto termasuk shurah?

Jawabannya, ya. Gambar hasil kamera foto termasuk shurah jika mengandung gambar makhluk bernyawa. Ulama yang membolehkan foto pun tetap menganggap hasilnya sebagai shurah dan memberikan ketentuan-ketentuan dalam penggunaannya. Masalah ini akan kita jelaskan di pembahasan pemanfaatan gambar (iqtina’ as shurah).

Baca Juga: Hukum Orang Kafir Masuk Masjid

Bolehkah Menggambar shurah yang Tidak Sempurna?

Kita telah memahami larangan menggambar gambar makhluk bernyawa. Lalu bagaimana jika seseorang menggambar makhluk bernyawa namun tidak sempurna gambarnya?

Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصُّورَةُ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُورَةٍ

“Inti dari shurah adalah kepalanya, jika kepalanya dipotong, maka ia bukan shurah” (HR. Al Baihaqi no.14580 secara mauquf dari Ibnu Abbas, Al Ismai’ili dalam Mu’jam Asy Syuyukh no. 291 secara marfu‘. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1921).

Andaikan hadits ini mauquf pun, memiliki hukum marfu‘, disandarkan isinya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Hadits ini menunjukkan bahwa inti dari ash shurah adalah kepala, jika gambar kepala tidak ada maka tidak lagi disebut ash shurah

Oleh karena itu, sebagian ulama memberikan kelonggaran menggambar makhluk bernyawa jika:

  • tidak ada kepalanya, atau
  • ada kepalanya namun tidak sempurna wajahnya

Karena tidak termasuk menandingi ciptaan Allah. Maksudnya, manusia ciptaan Allah tidak ada yang tanpa kepala atau tanpa wajah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:

الذي ما تتبين له صورة ، رغم ما هنالك من أعضاء ورأس ورقبة، ولكن ليس فيه عيون وأنف: فما فيه بأس؛ لأن هذا لا يضاهي خلق الله

“Gambar makhluk bernyawa yang tidak jelas, seperti yang memiliki anggota tubuh seperti yaitu kepala dan leher, namun tidak ada matanya dan tidak ada hidungnya, maka yang seperti ini tidak mengapa. Karena tidak menandingi ciptaan Allah”.

Beliau juga mengatakan:

إذا لم تكن الصورة واضحة، أي: ليس فيها عين، ولا أنف، ولا فم، ولا أصابع: فهذه ليست صورة كاملة، ولا مضاهية لخلق الله عز وجل

“Jika gambar makhluk bernyawa tersebut tidak jelas, yaitu tidak ada matanya, tidak ada hidungnya, tidak ada mulutnya, dan tidak ada jari-jarinya, maka ini bukan gambar makhluk bernyawa yang sempurna dan tidak termasuk menandingi ciptaan Allah” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 2/278-279).

Ini juga berlaku untuk pertanyaan “bolehkah menggambar robot?”, “bolehkah menggambar makhluk fantasi?”. Jawabannya, jika gambarnya mirip seperti gambar makhluk bernyawa yang sempurna maka tidak diperbolehkan. Namun jika jauh dari kemiripan terhadap makhluk bernyawa, maka tidak mengapa. Wallahu a’lam.

 

Bersambung ke hukum memanfaatkan gambar makhluk bernyawa, insyaAllah…

Baca Juga:

Penulis: Yulian Purnama


Artikel asli: https://muslim.or.id/55328-kupas-tuntas-hukum-gambar-makhluk-bernyawa-bag-1.html